13 Juli 2009

Pernyataan SBY dan Anggota DPR yang Mendiskreditkan KPK

Sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu bahwa SBY selaku Presiden RI (bukan Capres RI) mengkritik kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menjadi lembaga yang superbody. Namun, tulisan ini tidak hanya akan meninjau pernyataan Presiden SBY semata, tetapi akan meninjau juga kisah-cerita-fakta yang terjadi dalam beberapa waktu silam.

”Terkait KPK, saya wanti-wanti benar. Power must not go uncheck. KPK ini sudah powerholder yang luar biasa. Pertanggungjawabannya hanya kepada Allah. Hati-hati,”
kata Presiden SBY saat berkunjung ke harian Kompas, Jakarta, 24 Juni 2009 [Kompas Cetak]

********************

Pernyataan SBY yang menuduh bahwa KPK telah menjadi lembaga yang memiliki kekuasaan yang luar biasa “KPK ini sudah powerholder yang luar biasa.” haruslah kita cermati dan pelajari seksama. Jika benar pernyataan BY bahwa KPK merupakan lembaga yang superbody, maka saya pikir Ketua KPK non-aktif tidak akan berhasil ditangakp dan dijadikan tersangka kasus pembunuhan Nasrudin… Ada begitu banyak kejadian yang baru-baru menimpa KPK dan ada usaha mamandulkan kerja KPK. Sekitar 1 bulan yang lalu, Nursyahbani Katjasungkana, angota DPR dari fraksi PKB meminta KPK tidak mengambil keputusan alias tidak usah kerja lagi untuk proses penyelidikan korupsi yang membutuhkan keputusan terkait kasus Antasari [sumber].

Hal ini menjadi pertanyaan saya tatkala pada hari yang sama, Ketua Timkamnas SBY-Boediono, Hatta Radjasa menolak KPK ikut andil dalam menangani transparansi penggunaan dana departemen yang berpotensi digunakan untuk kepentingan kampanye SBY-Boediono seperti iklan Sekolah Gratis dan Lanjutkan Koperasi.

Tentang iklan Kementerian Negara Koperasi dan UKM yang ada kata-kata “lanjutkan” dan iklan pendidikan gratis, Hatta mengaku tidak tahu-menahu. Ia tak sependapat jika KPK harus turun tangan soal transparansi dana di departemen. “Departemen itu sudah diaudit oleh BPK. KPK turun jika memang ada penyimpangan,” ungkap Hatta. Sumber Kompas


Apa sih salahnya KPK turun tangan untuk menyelidiki penggunaan anggaran rakyat di departeman sebagai preventif adanya aliran dana untuk kepentingan kampanye pilpres? Mengapa KPK harus menunggu hasil Audit BPK? Bukankah banyak kasus yang diungkap dari KPK tidak semata dari laporan BPK? Inikah sikap Menteri Sekretaris Negara yang menginginkan pemerintah yang bersih, menghendaki pemilu presiden yang bersih?

Ada Apa Gerangan Angin Topan SBY ke KPK?

Cikal bakal KPK diinisiasi oleh Presiden BJ Habibie ketika mengesahkan UU 28/1999 tentang Pemerintahan yang Bersih dari KKN yang kemudian dikhususkan melalui UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disempurnakan lagi pada masa Pemerintah Megawati dengan disahkan UU 30/2002. Dan pada Desember 2003, dilantiklah Ketua KPK I yakni Taufikurahman Ruki. Dan secara faktual, KPK baru bekerja pada awal tahun 2004.

Sejak awal berdiri, KPK adalah sebuah lembaga/komisi yang bebas dari intervensi dari pihak manapun, tidak terkecuali DPR, Presiden atau BPK. KPK menerima laporan dari masyarakat, dari laporan audit BPK, audit BPKP, dari ICW, dan dari sumber-sumber lainnya termasuk masalah penanganan korupsi yang lamban/terhenti dari kejaksaan. Untuk melakukan penyelidikan terhadap pejabat negara (kepala daerah), maka ada keharusan agar Presiden menon-aktifkan pejabat tersebut, meski pada faktanya tidak semua pejabat yang akan diperiksa oleh KPK mendapat surat persetujuan Presiden untuk dinon-aktifkan.

Sesuai dengan UU 31/2002, maka keberhasilan KPK adalah keberhasilan masyarakat, BPK, DPR, Presiden, dan ICW. Bukan hanya semata keberhasilan Presiden SBY dan Demokrat seperti iklan-iklan politiknya yang memukau masyarakat kita yang belum sepenuhnya tahu posisi KPK. Perlu diingat bahwa pertanggungjawaban KPK dilaporkan kepada DPR, kepada Presiden dan secara resmi kepada media (masyarakat). Bukan seperti Kejaksaan dan Kepolisian. Jika Jaksa dan Polisi berhasil, maka itu merupakan keberhasilan dominan dari pemerintah.

Dari pernyataan Presiden SBY, terbersit hasrat Capres SBY menjadi orang yang seperti “kacang lupakan kulit”. Karena selama ini SBY selalu mendapat keuntungan kenaikan citra dari klaim secara sepihak bahwa pemerintahannya berhasil dalam pemberantasan korupsi. Ketika manis yang dirasakan dari klaim pemberantasan korupsi meningkatkan popularitasnya, kini ia terkesan mendiskreditkan KPK dengan menuduh KPK sudah superholder yang luar biasa, sehingga menambah “duka” mendalam bagi KPK yang 1.5 bulan lalu tersandung masalah Antasari Azhar. Dan kita tahu bahwa keberhasilan tersebut merupakan hasil kerja dari KPK. Sedangkan lembaga dibawah presiden yakni Kejaksaan dan Kepolisian justru terlibat praktik korupsi dan pelanggaran HAM.

Bukti masih cacatnya lembaga dibawah Presiden SBY dalam hal pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum.
1. Kejaksaan
Pada tanggal 3 Juni 2009, Barometer Korupsi Global 2009 Transparency International merilis hasil survei bahwa lembaga Peradilan/Kejaksaan merupakan lembaga terkorup nomor 2 di Indonesia setelah lembaga Legislatif. [sumber]
2. Kepolisian
Pada tanggal 24 Juni 2009, Amnesti Internasional merilis dokumen setebal 89 halaman berjudul “Urusan Yang Tak Selesai: Pertanggungjawaban Kepolisian di Indonesia” dengan inti laporan adalah kepolisian Indonesia melakukan penyiksaan, pemerasan, dan kekerasan seksual terhadap tersangka yang mana perilaku ini sebagai budaya melanggar hukum. Kajian tersebut disusun berdasarkan ratusan wawancara dengan para penegak hukum, pengacara, wartawan, kelompok hak asasi di Indonesia, dan korban pelanggaran hak asasi manusia, pada 2008 dan 2009. [sumber]

Dari dua lembaga yang mengurus masalah hukum ini saja, maka kita bisa melihat tidak ada peningkatan prestasi yang menonjol dari instansi yang dipimpin oleh Bapak Presiden SBY. Lembaga yang harusnya bisa membersihkan praktik korupsi, justru dikenal sebagai lembaga paling korup nomor 2. Lembaga yang harusnya mengayomi, melindungi dan memberi kenyamanan masyarakat, justru menjadi lembaga pelanggaran HAM. Ini kah prestasi?

Dulu DPR, sekarang Presiden

Usaha mendiskreditkan KPK tidak hanya datang dari suara pemimpin kita, setahun yang lalu yakni April 2008, Ahmad Fauzi, anggota DPR dari Partai Demokrat meminta KPK dibubarkan. Ahmad Fauzi resah ketika KPK berani mengeledah ruangan Al Amin Nasution yang menjadi tersangka kasus korupsi pembukaan hutan Bintan. Ancaman membubarkan KPK yang giat melaksanakan tugas sesuai dengan UU 30/2002 merupakan ancaman dari pihak yang kontraproduktif terhadap semangat perjuangan untuk memberantas korupsi di negeri ini.

“Ini tidak ada kaitannya dengan penggeledahan. Kita melihat KPK terlalu superbody saat ini. Sejumlah teman sudah berkomunikasi untuk mengusulkan revisi UU 30/2002 tentang KPK. Kalau perlu dibubarkan,” kata Fauzi kepada detikcom di DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (25/4/2008).
“Sekarang aparat kejaksaan dan kepolisian sudah membaik. Fungsi itu harus kita kembalikan. Karena KPK dibentuk saat kejaksaan dan kepolisian lemah. Kalau sekarang kuat, ya sekarang kita kembalikan saja,”
[sumber]

Pernyataan bahwa KPK sudah perlu dibubarkan mengingat kinerja Kejaksaan dan Kepolisian sudah membaik merupakan alasan yang berlebihan. Karena kita tahu bahwa prestasi dan reformasi di dua lembaga ini belum mengalami peningkatan kualitas secara signifikan. Coba kita pikirkan, dari hasil kajian dan survei yang dilakukan oleh Transparency Internasional yang mengatakan Lembaga Peradilan/Kejaksaan sebagai lembaga terkorup Indonesia nomor 2 setelah DPR pada tahun 2009, dan lembaga Amnesty Internasional yang menyatakan Kepolisian RI sebagai lembaga yang menindas hak asasi manusia.

Namun, ada benang merah dari pernyataan Ahmad Fauzi dengan Pak SBY bahwa mereka sama-sama menganggap KPK sudah menjadi lembaga superbody. Mereka secara tidak langung berharap kewenangan KPK dapat diturunkan derajatnya. Sesuai pula apa yang diharapkan oleh Hatta Radjasa sebagai Ketua Tim Kampanye SBY-Boediono yang menghendaki agar KPK tidak turun tangan menyelidiki adanya kemungkinan aliran dana rakyat di departemen/kementerian yang digunakan untuk kepentingan kampanye presiden.

Dan jika saja, harapan Pak Hatta bahwa KPK baru bertindak setelah laporan BPK, maka saya sangat khawatir kasus tumbal guru besar IPB, Rokmin Dahuri yang menggunakan sekaligus menyalurkan dana korupsi non-budgeter DKP 2004 kepada pasangan capres-cawapres 2004 akan dihentikan dengan alasan “impeachment politik”. Dan aliran dana korupsi DKP tersebut dapat diselesaikan dengan cara “Jabat Tangan SBY-Amien di Halim Perdana Kusuma“

Berikut saya flash back kembali, kasus aliran dana korupsi non-budgter DKP 2004.

Rokhmin Dhuri mengaku bahwa terjadi aliran dana non-budgeter negara yang masuk ke rekening para Capres dan Cawapres 2004 yakni sebagai berikut: (disusun berdasarkan nomor urut pilpres putaran pertama) – (sumber)


Wiranto – Salahuddin Wahid : 220 juta
Megawati S – Hasyim Muzadi : 280 juta
Amien Rais – Siswono Yudohusodo : 400 juta
Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY-JK) : 225 juta
Hamzah Haz – Agum Gumlelar : 320 juta
Tapi, sayang beribu sayang, kasus ini dapat di SPPP karena KPK tidak memiliki wewenang yang luas untuk melanjutkan penyelidikan pasca jabat tangan antara SBY-Amien Rais di Bandara Halim Perdana Kusuma pada hari Minggu, 27 Mei 2007.

Pemberintahan bersih atau partai yang bersih dari korupsi hanyalah pernyataan angin surga dari seorang pemimpin. Bagaimana mungkin penyelidikan hukum dapat berhenti karena didasari cikal bakal jabat tangan….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hey Visitor Where Do You Come From ?


Apa Yang Ingin Anda Cari ???