16 Juli 2009

Hindarkan Anak Dari Bahaya Televisi

Kekerasan sudah menjadi menu harian di televisi di ruang keluarga kita. Mulai dari berita tindakan anarkis para demonstran hingga acara kriminal, tayangan film-film asing pun tidak lepas dari adegan adu jotos, adu tembak, hingga darah yang muncrat sebagai hiburan.
Tayangan ini Berbahaya bagi anak-anak yang masih dalam tahap perkembangan. Kecenderungan meniru dari lingkungan bila tidak dibarengi arahan dari orang tua bisa mengakibatkan hal yang fatal. Apalagi lingkungan yang paling akrab bagi anak adalah televisi. Contohnya beberapa waktu lalu, akibat meniru adegan dalam tayangan televisi smack down, seorang anak meninggal dan seorang anak lain mengalami patah tulang. Masyarakat pun mulai sadar,dan mendesak agar tayangan tersebut dihentikan guna menghindari jatuhnya korban lagi.
Namun, kekerasan masih ada di televisi, coba lihat saja tayangan sinetron yang tiap hari kita tonton, adegan membentak, mata melotot, menampar dan meneriakkan kata makian “dasar gembel” sudah menjadi hal wajar. Tentu saja ini akan membawa pengaruh buruk bagi anak ketika sudah terbiasa melihat adegan kekerasan. Bagi orang dewasa pengaruhnya mungkin ada di alam bawah sadarnya. Sungguh naif sekali, untuk sebuah bangsa yang mengaku dan merasa sebagai bangsa yang ramah dan berbudaya adiluhung.

Bagaimana media dapat memberikan efek yang sangat buruk dari tayangan kekerasan kepada pemirsana, setidaknya ada tiga penjelasan yang menarik berikut;
1. Media memudahkan orang untuk mempelajari cara-cara baru kekerasan yang kemungkinan besar tidak terpikirkan sebelumnya. Kekerasan dalam film yang bersifat fiksi maupun yang nyata ditayangkan oleh media kemudian ditiru oleh orang lain di tempat lain dengan harapan akan mendapatkan hasil yang serupa.
2. Berkurang atau hilangnya kepekaan terhadap kekerasan itu sendiri. Sebuah studi menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain (Baron, 1974 dalam Baron & Byrne,2000).

Secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu sebabnya menonton memberi dampak emosional yang lebih kuat dari pada membaca. Jika hal ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebas dan tidak peka lagi dengan kekerasan (Flora, 2004).
Sejak era kebebasan pers, kita bisa lebih bebas dalam pemilihan tayangan. Seiring dengan itu, kekerasan pun merebak, berita mulai didominasi dengan tindakan-tindakan anarkis yang tidak jarang bersumber dari sesuatu yang sepele. Masyarakat menjadi sangat mudah disulut api kekerasan. Sayangnya, televisi pun makin getol dengan adegan kekerasan bahkan sebagai hiburan. Coba telusuri program serangkaian film asing yang dijanjikan akan diputar dalam satu bulan, sulit sekali menemukan film keluarga yang bisa menciptakan senyum, tawa, perasaan santai, melepas beban rutinitas dan mendapatkan perasaan yang positif.
Padahal banyak sekali film yang mengedepankan nilai-nilai kehidupan dari hal kecil seperti perasaan seorang anak di tengah kesibukan orangtua yang disajikan begitu santun, mengelitik, tanpa didominasi teriakan amarah. Mrs. Doubtfire, salah satunya yang sudah berulang kali ditayangkan oleh televisi kita, dan masih banyak lagi yang lain yang semestinya bisa ditampilkan ketimbang film-film yang lebih banyak memamerkan kekerasan. Lebih tidak masuk akal lagi, sinetron-sinetron yang bernuansa agama pun diwarnai dengan umpatan, saling pukul dan saling tampar.
3. Pengiklan menganggap tayangan kekerasan lebih menjual. Bushman dan Bonacci (2002, dalam Gunter, Furnham & Pappa,2005) menemukan betapa kuatnya pengaruh tayangan kekerasan terhadap penontonnya. Studi mereka menunjukkan bahwa iklan yang menampilkan kekerasan akan semakin mudah diingat ketika ditampilkan di program televisi kekerasan. Hal ini dikarenakan tayangan tersebut mendukung dan memudahkan penonton untuk mengingat iklan yang juga berisi adegan kekerasan.
Cukup aneh, bukankah seharusnya periklanan justru mendorong tayangan non kekerasan? Ataukah dengan tidak tertangkapnya isi iklan dengan baik oleh penonton kemudian menjadi nilai tersendiri bagi iklan tersebut? Kemungkinan, iklan akan memetik keuntungan dengan tidak telitinya penonton dan hanya menangkap bagian tertentu dari iklan tersebut. Hal ini sangat menarik untuk dilakukan studi lebih lanjut, termasuk di Indonesia.

Bagaimana Memanfaatkan Televisi ?
Televisi hanyalah sebuah kotak ajaib yang bisa dimatikan atau dibuang, bisa sebagai sumber malapetaka atau sumber pengetahuan. Kendali utama mestinya tetap pada pencipta televisi, yakni manusia. Masyarakat dan para orang tua wajib untuk mampu mandiri dalam menilai, menyaring serta proaktif terhadap tayangan di televisi. Kepekaan itu harus diciptakan, jangan sampai kelak generasi muda menjadi tidak sensitif terhadap kekerasan hingga menjadi bangsa Bar-Bar. Semua kalangan termasuk kalangan perguruan tinggi, asosiasi sosial dan kelompok masyarakat lain di samping individu yang berdiri sendiri.
Banyaknya bukti dampak tayangan kekerasan hendaknya menjadi informasi tambahan untuk mengkaji ulang perilaku kita dalam menonton televisi. Sudahkah kita menjadikan televisi sebagai pilihan di antara banyak pilihan aktivitas positif lain dalam melepas kepenatan, atau televisi yang menguasai setiap detik kehidupan kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hey Visitor Where Do You Come From ?


Apa Yang Ingin Anda Cari ???